Sabtu, 19 November 2011

Pekan Advokasi Nasional II: Pulihkan Hak Hidup Masyarakat Adat Papua Kalimantan





Pada 31 Oktober hingga 4 November 2011 Forum Keadilan dan Perdamaian Papua-Kalimantan menggelar Pekan Advokasi Nasional (PAN). Kegiatan ini merupakan yang kedua kalinya setelah PAN pertama diselenggarakan pada Oktober 2010. Forum Keadilan dan Perdamaian Papua-Kalimantan sendiri merupakan sebuah forum yang digagas oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI dan JPIC MSC Indonesia dengan tujuan menjadikannya wadah untuk menyatukan keprihatinan bersama akan persoalan hak hidup masyarakat adat Papua dan Kalimantan.

PAN II yang dirancang oleh Forum Keadilan dan Perdamaian Papua-Kalimantan sebagai upaya untuk menyuarakan dan menegakkan hak-hak dasar masyarakat adat Papua dan Kalimantan serta menyelamatkan hutan dari kerusakan akibat pengelolahan hutan yang ekstratif. PAN II kali ini mengangkat tema “Pulihkan Hak Hidup Masyarakat Adat Papua dan Kalimantan”.

Sebanyak 34 peserta hadir mewakili Regio Kalimantan dan Papua, 21 orang diantaranya dari wilayah Papua yang meliputi Keuskupan Jayapura, Merauke, Sorong, dan Agats-Asmat. Sedangkan sebanyak 13 peserta hadir dari Keuskupan Sintang, Palangkaraya, Samarinda, Tanjung Selor, Ketapang, dan Banjarmasin.

Berikut ini rumusan yang dihasilkan oleh peserta PAN II dan rekomendasi tindak lanjutnya.


Persoalan Hak Hidup Masyarakat  Adat Papua – Kalimantan

Pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia telah menunjukkan  hasil yang positif di berbagai bidang. Kemajuan di bidang ekonomi dan perbaikan taraf hidup baik di bidang pendidikan,
kesehatan, dan kemajuan teknologi telah membawa Indonesia pada peradaban seperti sekarang ini.  Namun di balik keberhasilan tersebut, masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Pembangunan yang sebagian besar masih didanai dari hasil pengambilan sumber daya alam belum mampu memberikan hasil yang maksimum bagi kemajuan bangsa. Ketimpangan kesejahteraan masyarakat, tidak adanya kesempatan yang sama terhadap akses pada modal pembangunan dan hasilnya, serta berbagai kerusakan lingkungan, masalah sosial dan budaya terus terjadi, bahkan saat ini cenderung mengalami peningkatan.

Forum Keadilan dan Perdamaian Papua-Kalimantan mencoba secara konsisten untuk menyuarakan ketidakadilan ini dengan maksud agar menjadi permasalahan bersama antar seluruh elemen bangsa, baik ditataran pemerintah, kelompok agama, kelompok adat dan budaya, dan kelompok masyarakat lainnya.  Dari berbagai pengamatan, diskusi, dan pencarian  fakta di lapangan, diperoleh beberapa permasalahan dasar yang dialami oleh masyarakat adat Papua dan Kalimantan yang dapat
dirumuskuan sebagai berikut:

1.    Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah akibat adanya penggusuran wilayah hidup masyarakat adat Papua dan Kalimantan. Hal ini disebabkan oleh adanya dominasi investasi ekonomi industri berskala besar.  Pengalih-fungsian kawasan hutan untuk kegiatan investasi yang tidak sesuai dengan budaya dan ekonomi lokal terus dilakukan oleh pemerintah. Ijin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan terus bertambah, khususnya terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dan pilkada.  Dari berbagai ijin yang dikeluarkan selama ini tidak pernah mengakui hak-hak adat dan kedaulatan wilayah adat.  Selain itu, ijin yang dikeluarkan belum
sepenuhnya benar-benar dimanfaatkan oleh para investor sehingga banyak lahan menganggur namun tetap tidak dapat dimanfaatkan masyarakat adat karena terbentur pada masalah ijin penguasaan dan pengelolaan.  Padahal, kebutuhan hidup masyarakat harus terus dicukupi. Keadaan ini telah menyebabkan pemiskinan masyarakat dan menjadi korban yang hampir tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah karena keberpihakan pemerintah cenderung lebih ditujukan kepada kelompok pemilik modal.

Budaya konsumerisme dan intervensi perusahaan terhadap masyarakat adat tanpa pemberian informasi dan pendampingan yang  benar termasuk penyiapan secara sosial dan budaya, terus berkembang dan mempengaruhi pola pikir masyarakat.  Budaya instan menjadi alternatif pilihan utama yang diterima oleh masyarakat pada saat terjadi penggusuran atau penguasaan lahan. Kesejahteraan jangka panjang tidak pernah menjadi dasar pemikiran dan pengambilan kebijakan oleh pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat itu sendiri. Padahal, secara sederhana dapat
diketahui bahwa hasil pemanfaatan sumber daya alam (misalnya: hasil hutan non kayu) mampu memberikan penghasilan  yang lebih  tinggi dan lebih berkelanjutan bagi masyarakat setempat dibandingkan dengan ekonomi investasi besar yang hasilnya lebih dinikmati oleh pemodal yang sebagian besar berasal dari luar daerah. 

2.    Sejauh ini, hak hidup masyarakat adat Papua dan Kalimantan tidak sepenuhnya mendapat pengakuan dari pemerintah maupun dari para pengusaha. Pengabaian kehidupan sosial dan kelembagaan  adat di mana keterkaitan antara hutan, tanah, dan air sebagai  nafas, jiwa, dan darah masyarakat adat tidak pernah dihargai dan dijunjung tinggi. Hilangnya hutan dan hak atas tanah berarti penghilangan hak masyarakat adat dan pemusnahan budayanya. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah kebijakan dan program pembangunan dilaksanakan (FPIC) di wilayah  mereka juga belum sepenuhnya diterapkan oleh pemerintah. Kalaupun dilakukan tidak sepenuhnya memberikan informasi yang sebenarnya. Konflik antar masyarakat muncul saat tanah mereka dibagikan kepada pendatang dan diberikan dalam bentuk sertifikat tanah, sementara masyarakat asli justru kehilangan hak atas tanahnya.
 
3.    Adanya pengalihfungsian peran aparat keamanan yang justru didukung dan dibiarkan oleh pemerintah.  Aparat keamanan yang fungsinya sebagai pelindung masyarakat dan penjaga keamanan justru dimanfaatkan untuk menjaga perusahaan dan menjadi musuh masyarakat setempat.  Keadaan ini semakin menekan masyarakat karena keberadaan aparat justru menimbulkan rasa tidak aman  di tanah sendiri. Akibatnya, keberadaan aparat keamanan justru membatasi aktivitas atau gerak kehidupan masyarakat. 

4.    Kondisi masyarakat adat yang relatif masih berpendidikan rendah dan miskin sangat mudah untuk dimanfaatkan dalam melegalkan sebuah perijinan ataupun penggusuran lahan.  Alasan demi kesejahteraan masyarakat selalu menjadi modal propaganda pemerintah yang dilakukan untuk mengambil hati masyarakat demi kelanggengan kekuasaannya dan akumulasi modal. Janji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan fasilitas sosial dan penguatan ekonomi lokal digantikan dengan pengeluaran ijin usaha yang bertentangan dengan keinginan masyarakat maupun penghilangan hak adat, bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan yang dampaknya harus ditanggung oleh masyarakat. Pemerintah justru  melegalkan dan mengijinkan berbagai jenis investasi yang bersifat ekplotatif terhadap sumber daya alam dan meniadakan peran masyarakat  yang awalnya menjadi pusat perhatian pemerintah. 

5.    Papua secara khusus perlu mendapatkan perhatian terkait  dengan  Otonomi Khusus Papua. Demikian pula dengan gencarnya pelaksanaan Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia.  Kebijakan ini justru membuka peluang pengeluaran ijin-ijin investasi baik pertambangan maupun perkebunan dalam skala besar. Tumpang tindih lokasi perijinan terus terjadi dan yang pasti tetap meniadakan keberadaan masyarakat adat yang ada di lokasi perijinan.  Kekuasaan memberikan ijin oleh kepala daerah menyebabkan semakin suburnya praktek korupsi. Pemberian ijin HGU dan alokasi lahan 20% bagi masyarakat atas suatu ijin lahan sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat karena pembatasan hak kelola lahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Rekomendasi:

  1. Penguatan ekonomi lokal berbasis potensi wilayah dengan mengedepankan hak masyarakat adat harus menjadi prioritas utama pembangunan untuk menghentikan praktek marginalisasi hak hidup masyarakat adat.
  2. Optimalisasi pemanfaatan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan energi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
  3. Reklamasi dan rehabilitasi areal bekas tambang sesuai dengan kaidah lingkungan yang berlaku.
  4. Menghentikan ekspansi pembukaan lahan baru untuk kegiatan yang bersifat eksploitatif dan berpotensi konflik. 
  5. Evaluasi atas ijin usaha pemanfaatan sumber daya alam yang sudah diberikan, khususnya di daerah  yang berkonflik serta evaluasi atas pelaksanaannya.
  6. Menghargai hak hidup masyarakat adat dengan membangun dialog antara masyarakat, pengusaha, dan pemerintah sehingga hukum dapat ditegakkan bersama dan mekanisme penyelesaian konflik dilakukan berdasarkan kesepakatan yang murni.
  7. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas atas rencana kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan lahan dan bebas menentukan pilihannya tanpa paksaan.
  8. Etika profesi  para pengusaha dan aparat penegak hukum  harus ditegakkan.
  9. Judicial review Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat adat.
  10. Evaluasi kebijakan Otonomi Daerah dan pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua. 

sumber : http://namakuvero.multiply.com/journal/item/69/Pekan_Advokasi_Nasional_II_Pulihkan_Hak_Hidup_Masyarakat_Adat_Papua_Kalimantan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar