Sabtu, 25 Oktober 2014

LEMAHNYA POSISI MASYARAKAT ADAT DI NEGERI INI

Kurangnya Pengakuan Dari Pemerintah Terhadap Masyarakat Adat Adalah Senjata Bagi Perusahaan - Perusahaan Untuk Memusnahkan Wilayah Adat.





Amankaltim.blogspot.com. Kasus Sengketa Tanah Adat Muara Tae selalu selalu menarik untuk dibahas dan menarik untuk menjadi obyek sharing dalam diskusi-diskusi publik menyangkut betapa lemahnya posisi masyarakat adat di mata hukum negara ini.  

Dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (22-10-2014) turut mengundang Masrani selaku salah satu tokoh Masyarakat Adat Muara Tae untuk berbagi  cerita tentang perjuangan Masyarakat Adat Muara Tae.

Dalam FGD yang dihadiri Dosen Fakultas Hukum UNMUL, rekan LSM dan beberapa tokoh masyarakat, Masrani memaparkan perjuangan Masyarakat Adat Muara Tae dalam menghadapi perusahaan - perusahaan yang menghancurkan Wilayah Tanah Adat Muara Tae adalah perjuangan panjang. Hingga sekarang perjuangan terus berlanjut dan lebih keras. Perusahaan - perusahaan yang beroperasi juga membuat kerusakan lingkungan yang parah. Terutama di daerah aliran sungai yang dipakai warga seperti Sungai Nayan yang keruh saat hujan dan bening saat musim panas tetapi berakibat gatal - gatal hingga korengan pada kulit.

Dalam wawancara terpisah Masrani menjelaskan bahwa kasus Tanah Adat Muara Tae sendiri semakin berlarut-larut dengan di panggilnya Petrus Asuy  selaku tokoh adat oleh Polres Kutai Barat terkait aktivitasnya dalam menghentikan penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan - perusahaan di Wilayah Tanah Adat Muara Tae. 

Petrus Asuy diperikasa penyidik Polres Kutai Barat  (15/10/2014) terkait laporan dari PT Munte Waniq Jaya Perkasa (PT.MWJP). Irianto selaku penyidik Polres Kutai Barat mengatakan bahwa mereka tidak memakai hukum adat dan tidak mengakui wilayah adat khususnya Wilayah Tanah Adat Muara Tae. Petrus Asuy beserta Masyarakat Adat Muara Tae diminta menghentikan penyetopan aktivitas perusahaan dilapangan. Apabila terjadi kembali proses penyetopan dilapangan kembali maka pihak Polres kutai Barat tidak segan - segan untuk melakukan penangkapan.

Proses penyidikan sendiri dihentikan tanpa diBAP karena ternyata Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari PT.Munte Waniq Jaya Perkasa selaku penggugat telah habis masa berlakunya pada bulan januari 2014 akan tetapi proses ini belum berakhir karena pihak Polres Kutai Barat masih melihat apakah ada perpanjangan IUP oleh PT. MWJP untuk meneruskan kasus ini ketahap selanjutnya, tambah Masrani.

Kasus sengketa wilayah tanah adat sering terjadi di Kalimantan Timur. Masyarakat Adat yang berpatokan pada hukum adat yang mereka pakai turun - temurun sering menjadi pihak yang lemah ketika harus berhadapan dengan hukum positif di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar