Dikabulkannya
sebagian dari Pokok perkara uji materi Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, melegakan
banyak pihak. Dalam beberapa kesempatan diskusi, kemenangan atas UU No. 41 ini
akan memberikan banyak perubahan di kawasan-kawasan adat yang selama ini masih
milik “negara”.
Sedikit
memandang dari persfektif yang berbeda melihat dikabulkannya perubahan UU ini, dengan
melihat keberadaan hukum atas penguasaan dan kepemilikan tanah, bukan hanya dari Kawasan Budidaya Hutan
tetapi juga dari Areal Penggunaan Lain yang “dikuasai” oleh Negara melalui
lembaga lainnya.
Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 pasal 5 disebutkan bahwa “Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.”
UUPA
secara jelas menyebutkan bahwa adanya pengakuan hukum adat dalam melakukan
pengaturan tanah-tanah yang ada di Indonesia selama tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku di negara ini.
Dalam
hal menjalankan aturan ini, melalui Permenag Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Sesuai
dengan Pasal 2 ayat 1 Permenag Nomor 5 tahun 1999, menyebutkan bahwa
“Pelaksanaan
hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat”
serta
Pasal 2 ayat 2 Permenag Nomor 5 tahun 1999 menyatakan,
Hak
ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Secara
sekilas memang tidak ada ganjalan dalam ketentuan ini. Tetapi apabila di
telaaah lebih dalam, pertanyaannya yang akan muncul adalah
1. Apakah masih ada sekelompok orang yang masih
terikat aturan mengenai di kawasan tersebut.
2. Masih adakah tanah-tanah komunal yang masih
dikuasai bersama oleh kelompok masyakat ada, atau telah dipecah-pecah menjadi
hak milik atau hak penguasaan lahan.
3.
Masih adakah ketentuan ada yang mengikat tanah
adat tersebut menjadi satu kesatuan, atau saat ini telah menjadi ketentuan
bersama-sama melakukan penguasaan tanah untuk kepentingan investasi melalui
berbagai bentuk kelembagaan.
Dalam
Permenag ini pula, pada pasal 3 huruf a menyebutkan bahwa Pelaksanaan hak
ulayat masyarakat hukum adat pada pasal tidak dapat lagi dilakukan apabila sudah
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
Masih
pada pasal 3 huruf b Permendag menyatakan bahwa Pelaksanaan hak ulayat
masyarakat hukum adat pada pasal tidak dapat lagi dilakukan apabila merupakan
bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
Pasal
ini memberikan ketentuan penguasaan tanah ulayat hanya pada tanah
komunal. Padahal kenyataannya banyak diantara tanah ulayat saat ini telah
berubah menjadi tanah keluarga, yang ada gilirannya akan didaftarkan menjadi
hak penguasaan personal, yang beberapa diantaranya bahkan telah didaftarkan
menjadi peserta investasi perkebunan melalui koperasi perkebunan atau menjadi
Koperasi Pertambangan.
Pasal
tentang Penguasaan tanah ini kemudian dipertegas dengan Pasal 4 ayat 2 yang
menyatakan pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain
yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu,
sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak
dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai
yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan
berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan
sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada
Dalam
menggunakan pasal 4 ini, tanah ulayat menjadi sangat rentan diserahkan kepada
Pihak Ketiga dengan alasan investasi untuk kepentingan kesejahtraan. Peluang
perubahan status menjadi sangat mungkin dilakukan demi keuntungan sesaat.
Bahkah
dengan menggunakan senjata demi kepentingan bersama, tanah di Indonesia dapat
diambil secara paksa dengan menggunakan Undang Undang Penataan Ruang dan Undang
Undang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Pasal
22 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ayat 3 (tiga)
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan
sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah
dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang
hak atas tanah.
Ketentuan
ini dikuatkan dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum Pasal 8 yang menyebutkan “Pihak yang Berhak dan pihak
yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi
ketentuan dalam Undang-Undang ini.”
Serta
pasal 5 yang menyatakan “Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat
pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian
atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.”
Dengan
sekelumit tata aturan tersebut, peluang untuk memasukkan hak ulayat, salah
satunya pada aturan main perencanaan ketataruangan.
Pasal
60 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 huruf a,b,e dan f tentang Penataan Ruang
menyebutkan dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk mengetahui rencana
tata ruang, menikmati pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang, mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang, mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang menimbulkan kerugian.
Walapun
kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan ini akan berlaku apabila
masyarakat yang menyerahkan tanahnya kepada pihak ketiga. Apakah
kemudian Masyarakat menuntut diri sendiri, karena telah terlanjur menyerahkan
tanahnya.
Upaya
untuk mengatisipasi kesalahan penataan telah dilakukan pemerintah, dengan
melihat Pasal 12 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Ayat
2 (dua) huruf f dan g bahwa Pembinaan penataan ruang dengan
pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang serta
penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Tetapi
hal ini belum berjalan efektif, bahkan untuk memperoleh dokumen negara yang
bernama Rencana Tata Ruang Wilayah baik Kabupaten, Propinsi maupun Nasional
sangatlah sulit, bahkan kalaupun mampu dilakukan berbiaya tinggi untuk
masyarakat.
Kalaupun
ada ketentuan bagaimana tata cara penyusunan dan usulan sesuai dengan ketentuan
Pasal 22 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Ayat 2 huruf
b,c dan d yang menyebutkan Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus
memperhatikan upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi, keselarasan
aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota dan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
Tetapi
apakah dalam pelaksanaannya dapat dilakukan perencanaan terlebih
dahulu sebelum pelaksanaan. Tidak banyak lagi Lahan kosong yang tersisa akibat
investasi, sehingga mau tidak mau kemungkinan yang terjadi adalah penyusunan rencana
tata ruang mengikuti kehendak investasi yang telah terlanjur memiliki izin dan
menguasai tanah.
Mudah-mudah
menjadi pemikiran bersama, bahwa perjuangan belum usai. Tanah adat merupakan
semua obyek yang berada di Tanah tersebut, termasuk hutan, tumbuhan, manusia
dan binatang yang ada didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar