Minggu, 02 Juni 2013

Tanah Adat Bukan Hanya Hutan Adat


Dikabulkannya sebagian dari Pokok perkara uji materi Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, melegakan banyak pihak. Dalam beberapa kesempatan diskusi, kemenangan atas UU No. 41 ini akan memberikan banyak perubahan di kawasan-kawasan adat yang selama ini masih milik “negara”.

Sedikit memandang dari persfektif yang berbeda melihat dikabulkannya perubahan UU ini, dengan melihat keberadaan hukum atas penguasaan dan kepemilikan tanah,  bukan hanya dari Kawasan Budidaya Hutan tetapi juga dari Areal Penggunaan Lain yang “dikuasai” oleh Negara melalui lembaga lainnya.

Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 pasal 5 disebutkan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

UUPA secara jelas menyebutkan bahwa adanya pengakuan hukum adat dalam melakukan pengaturan tanah-tanah yang ada di Indonesia selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di negara ini.

Dalam hal menjalankan aturan ini, melalui Permenag Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Permenag Nomor 5 tahun 1999, menyebutkan bahwa
Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat

serta Pasal 2 ayat 2 Permenag Nomor 5 tahun 1999 menyatakan,
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.  Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.     Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.      Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Secara sekilas memang tidak ada ganjalan dalam ketentuan ini. Tetapi apabila di telaaah lebih dalam, pertanyaannya yang akan muncul adalah
1.   Apakah masih ada sekelompok orang yang masih terikat aturan mengenai di kawasan tersebut.
2. Masih adakah tanah-tanah komunal yang masih dikuasai bersama oleh kelompok masyakat ada, atau telah dipecah-pecah menjadi hak milik atau hak penguasaan lahan.
3.     Masih adakah ketentuan ada yang mengikat tanah adat tersebut menjadi satu kesatuan, atau saat ini telah menjadi ketentuan bersama-sama melakukan penguasaan tanah untuk kepentingan investasi melalui berbagai bentuk kelembagaan.

Dalam Permenag ini pula, pada pasal 3 huruf a menyebutkan bahwa Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat pada pasal tidak dapat lagi dilakukan apabila sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.

Masih pada pasal 3 huruf b Permendag menyatakan bahwa Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat pada pasal tidak dapat lagi dilakukan apabila merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal ini memberikan ketentuan penguasaan tanah ulayat hanya pada tanah komunal. Padahal kenyataannya banyak diantara tanah ulayat saat ini telah berubah menjadi tanah keluarga, yang ada gilirannya akan didaftarkan menjadi hak penguasaan personal, yang beberapa diantaranya bahkan telah didaftarkan menjadi peserta investasi perkebunan melalui koperasi perkebunan atau menjadi Koperasi Pertambangan.

Pasal tentang Penguasaan tanah ini kemudian dipertegas dengan Pasal 4 ayat 2 yang menyatakan pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada

Dalam menggunakan pasal 4 ini, tanah ulayat menjadi sangat rentan diserahkan kepada Pihak Ketiga dengan alasan investasi untuk kepentingan kesejahtraan. Peluang perubahan status menjadi sangat mungkin dilakukan demi keuntungan sesaat.

Bahkah dengan menggunakan senjata demi kepentingan bersama, tanah di Indonesia dapat diambil secara paksa dengan menggunakan Undang Undang Penataan Ruang dan Undang Undang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Pasal 22 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ayat 3 (tiga) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.

Ketentuan ini dikuatkan dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pasal 8 yang menyebutkan “Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

Serta pasal 5 yang menyatakan “Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dengan sekelumit tata aturan tersebut, peluang untuk memasukkan hak ulayat, salah satunya pada aturan main perencanaan ketataruangan.

Pasal 60 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 huruf a,b,e dan f tentang Penataan Ruang menyebutkan dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang,  menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang, mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Walapun kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan ini akan berlaku apabila masyarakat yang menyerahkan tanahnya kepada pihak ketiga. Apakah kemudian Masyarakat menuntut diri sendiri, karena telah terlanjur menyerahkan tanahnya.

Upaya untuk mengatisipasi kesalahan penataan telah dilakukan pemerintah, dengan melihat Pasal 12 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Ayat 2 (dua) huruf f dan g bahwa Pembinaan penataan ruang dengan pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang serta penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 

Tetapi hal ini belum berjalan efektif, bahkan untuk memperoleh dokumen negara yang bernama Rencana Tata Ruang Wilayah baik Kabupaten, Propinsi maupun Nasional sangatlah sulit, bahkan kalaupun mampu dilakukan berbiaya tinggi untuk masyarakat.

Kalaupun ada ketentuan bagaimana tata cara penyusunan dan usulan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Undang Undang Nonor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Ayat 2 huruf b,c dan d yang menyebutkan Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi, keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 

Tetapi apakah dalam pelaksanaannya dapat dilakukan perencanaan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan. Tidak banyak lagi Lahan kosong yang tersisa akibat investasi, sehingga mau tidak mau kemungkinan yang terjadi adalah penyusunan rencana tata ruang mengikuti kehendak investasi yang telah terlanjur memiliki izin dan menguasai tanah.

Mudah-mudah menjadi pemikiran bersama, bahwa perjuangan belum usai. Tanah adat merupakan semua obyek yang berada di Tanah tersebut, termasuk hutan, tumbuhan, manusia dan binatang yang ada didalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar