Januari-Maret 2014
1) Proyek Jembatan Pulau Balang menjadi ancaman utama
Proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang adalah salah satu proyek yang paling kontroversial. Dampak lingkungannya sangat buruk, utamanya dampak dari jalan penghubung antara kota Balikpapan dan Pulau Balang yang akan melewati hutan dengan nilai konservasi tinggi dan akan memutuskan hubungan antara Hutan Lindung Sungai Wain dan hutan mangrove di sepanjang pesisir barat kota Balikpapan. Namun proyek ini juga kontroversial dari aspek ekonomi karena sangat kurang efisien dibandingkan dengan opsi-opsi alternatif yang lebih ramah lingkungan, misalnya Jembatan Tanjung Batu - Gunung Seteleng. Meskipun begitu banyak kontroversi dan protes terhadap pembangunan Jembatan Pulau Balang, pemerintah provinsi Kalimantan Timur telah tetap memulai membangun bentang panjang Jembatan Pulau Balang. Di lokasi yang disebut oleh masyarakat setempat Air Putar Besar (Kelurahan Kariangau/Mentawir, zona konflik Balikpapan/PPU), fondasi jembatan sudah muali dibangun. Empat buah tiang telah berdiri (2 buah sebalah Pulau Balang, 2 tiang sebelah Kariangau) pada bulan Maret. Alasan kenapa pemerintah memilih opsi jembatan yang paling buruk dari aspek lingkungan maupun ekonomi belum jelas.
2) Pembangunan Jetty melawan RTRW 2013-2032
Pada tahun yang lalu DPRD kota Balikpapan mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baru yang sangat buruk dari aspek lingkungan, utamanya dari aspek perlindungan kawasan pesisir barat kota Balikpapan yang hampir semua dialokasikan untuk menbangun kawasan industri, meskipun kawasan Teluk Balikpapan sangat tidak cocok untuk pembangunan industri. Hanya sedikit sekali kawasan hutan di pesisir dialokasikan untuk dipertahankan dalam RTRW 2013-2032. Namun hutan ini, yang dilindungi di dalam RTRW baru, sedang tetap dibuka dan dirusak. Ini sudah terjadi dua kali dalam kurun waktu satu tahun di DAS Sungai Puda (Kelurahan Kariangau, Balikpapan). Tahun yang lalu PT. Pelindo (Pelabuhaan Indonesia) merusak beberapa hektar hutan mangrove di Sungai Puda untuk memperluas areal gudang. Pada bulan Maret ini, pembukaan hutan mangrove yang dilindungi oleh RTRW 2013-2032 terjadi lagi. Kali ini, sebuah pelabuhaan (Jetty) baru dibangun di antara pelabuhan Peti Kemas Pelindo dengan Muara Solok Puda. Di pantai (laut) telah dipancang pipa sebanyak 12 buah. Letak pelabuhan ini lebih dekat dengan Muara Solok Puda. Belum jelas apakah perusahaan yang membuka hutan mangrove ini adalah Pelindo atau perusahaan lain. Hal ini telah dilaporkan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan tetapi belum ada balasan.
3) Wilmar melawan kebijakan zero-deforestation
Salah satu kasus lingkungan di Teluk Balikpapan sudah diangkat ketingkat internasional. Perusahaan PT. WINA (anak perusahaan Wilmar) telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan (Kelurahan Kariangau, Balikpapan), kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sepadan sungai. PT. WINA berencana memperluas area dimana hutan akan dibuka dan dirusak. Mereka telah menutup Hulu Sungai Berenga Kanan dengan dtimbunan tanah. Selain mangrove yang dirusak secara langsung akibat terkena pemotongan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati kearah hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut. Kegiatan ini melawan kebijakan zero-deforestation (nol deforestasi) yang disetujui oleh Wilmar pada tanggal 5 Desember 2013. Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mitra-mitra Wilmar dari beberapa negara meminta Wilmar agar meninggalkan lokasi di Kariangau. Jika Wilmar melanjutkan pembangunan di Kariangau, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar karena kehilangan sebagian besar dari pembeli produk mereka, sebab pembeli produk mereka berasal dari negara maju yang menuntut kebijakan nol deforestasi.
4) Sebuah perusahaan baru siap merusak kawasan pesisir
Selain beberapa perusahaan yang telah membuka lahan dan merusak hutan di Kariangau, ada sebuah perusahaan baru yang memiliki rencana yang sama. Di atas Sungai Berenga Kanan (Kelurahan Kariangau, Balikpapan) baru ada rintisan lahan yang cukup luas. Terdapat 2 buah pondok yang baru dibangun di atas gunung dan ada paling kurang 2 buah pelang atas nama PT. Tunas Catur Lestari. Wilayah yang dikuasai oleh PT. Tunas Catur Lestari termasuk mangrove di Sungai Tengah yang sangat luas. Belum tentu apa rencana PT. Tunas Catur Lestari. Hal ini telah dilaporkan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan tetapi belum ada balasan.
5) Illegal logging berlangsung di Kariangau
Meskipun semakin banyak ancaman terjadi di Kariangau sejak perubahaan Rencana Tata Ruang Wilayah kota Balikpapan, pemerintah tidak memperkuat pengawasan terhadap kawasan hutan dan aktivitas illegal logging yang berlanjut terus. Hampir setiap kali memasuki kawasan Kariangau dari Solok Puda sampai ke perbatasan PPU, suara chainsaw dapat didengar, lokasi paling sering yaitu di atas Sungai Tengah, Sungai Berenga Kanan dan Sungai Tempadung (Kelurahan Kariangau, Balikpapan). Pemerintah dan polisi tidak melakukan langkah apapun untuk menghentikan kegiatan illegal logging di kawasan hutan Kariangau. Kelanjutan aktivitas illegal logging di Kariangau adalah bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam perjanjian bahwa Kawasan Industri Kariangau akan dibangun dengan cara ramah lingkungan dan tidak akan mengancam kawasan hutan.
6) Penumpukkan batu bara mencemar Teluk Balikpapan
Salah satu sumber pencemaran perairan Teluk Balikpapan adalah limbah batu bara. Misalnya, PT. Singlurus masih tetap menumpukkan batu bara di pinggir Sungai Sekambing (Kelurahan Mentawir, PPU). Debu batu bara terus masuk ke sungai dan laut terbawa oleh angin dan air hujan dari stock pile mereka atau saat membongkar batu bara ke ponton dengan konveyor. Tidak ada pencegahan apapun oleh PT. Singlurus untuk memperkecil dampak aktifitas mereka. Tetapi bukan hanya tambang dan terminal batu bara yang menjadi sumber limbah batu bara. Sebuah perusahaan pengolahan minyak sawit mentah, PT. Dermaga Kencana Indonesia (DKI) berlokasi di muara Sungai
Tempadung (Kelurahan Karinagau/Mentawir, zona konflik Balikpapan/PPU), sudah sering membongkar batu bara dari ponton ke daratan, sepertinya untuk keperluan power plant mereka. Stock pile batu bara oleh PT.Dermaga Kencana Indonesia sangat dekat dengan laut dan terumbu karang (disebut Batu Kapal oleh masyarakat setempat) yang sangat sensitif terhadap polusi dan sudah berada dalam kondisi kritis. Lokasi di sekitar PT. Dermaga Kencana Indonesia adalah pusat penyebaran pesut dan duyung serta salah satu tempat utama pencarian ikan oleh para nelayan. Stock pile batu bara oleh PT. Dermaga Kencana Indonesia adalah ancaman yang sangat serius terhadap kawasan tersebut.
7) Herbisida dari perkebunan sawit mencemari Teluk Balikpapan
Selain batu bara dan industri, salah satu sumber pencemaran air diTeluk Balikpapan adalah perkebunan sawit, utamanya pekebunan oleh Perusahhan PT. Agro Indomas yang sangat luas dan menyebar sampai ke pesisir dan pinggiran sungai. PT. Agro Indomas telah berjanji bahwa mereka tidak akan menggunakan herbisida dan pupuk di daerah aliran sungai tetapi sampai saat ini, mereka tidak memenuhi perjanjian mereka. Misalnya, di Sungai Palike (Kelurahan Pemaluan, Kabupaten PPU) ada penyemprotan racun rumput, sekitar 30 meter dari pinggir sungai pada bulan Januari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar