Inkuiri Nasional Komnas HAM Tentang Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan
Penggusuran Paksa PT. Subur Abadi Wana Agung di Wilayah Adat Long Bentuq |
Komnas HAM meililih isu hak-hak masyarakat adat di kawasan
hutan karena adanya indikasi bahwa permasalahan ini dialami oleh banyak
masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia. Inkuiri Nasional nasional
ini dilakukan pada kondisi dimana telah terjadi perbaikan peraturan
perundang-undangan dan kelembagaan namun pelanggaran HAM masih terus
terjadi.kasus elanggaran HAM yang diungkap dalam Inkuiri Nasional bersifat
struktural, tersembunyi, terpendam dan menyimpang peluang muncul berulang.
Minim sekali pengakuan pemerintah atas terhadap masyarakat
adat dan hak-hak atas wilayahnya, termasuk hutan adatnya, dalam wilayah –
wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut. Pemerintah juga
menerbitkan menerbitkan izin-izin pinjam pakai atas kawasan hutan untuk
kepentingan pertambangan dan melepaskan “kawasan hutan”tersebut menjadi Areal
Penggunaan Lain (APL) yang dapat dialikasikan bagi pembangunan perlebunan dan
peruntukan lainnya.
Dari hasil temuan dilapangan dalam Inkuiri Nasional di tujuh wilayah seperti Sulawesi , Kalimantan, Sumatra, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, dan Papua serta Jakarta didapat 10 rekomendasi dari Presiden terkait Hak Masyarakat Adat Atas
wilayahnya di Kawasan Hutan. Yaitu :
1.
Membentuk
embaga indipenden dibawah presiden yang memiliki mandat :
a.
Mempersiapkan
berbagai kebijakan dan kelembagaan yang menangani pengakuan, penghormatan,
perlindungan dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat.
b.
Menyelesaikan
konflik tenurial Masyarakat Adat baik bersifat horizontal maupun vertikal di
kawasan hutan.
c.
Merumuskan
dan melaksanakan pemberian remedi kepada masyarakat adat dan warganya yang
telah menjadi korban pelanggaran HAM dan untuk mencegah berulangnya
perlanggaran HAM
d.
Mengkaji
ulang secara terpadu izin-izin dan kebijakan dikawasan hutan dan bekas kawasan
hutan, termasuk pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir, pertambangan, perkebunan
yang tumpang tindih di wilayah Masyarakat Adat.
2.
Memfasilitasi
percepatan pembentukan UU tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat
3.
Menyusun
dan mengambil langkah nyata, terukur, dan terjadwal untuk memulihkan (remedi)
hak-hak masyarakat adat yang telah dilanggar tanpa menunda pemenuhan ha atas
keadilan yang melekat pada diri masyarakat adat.
4.
Penundaan
kasus-kasus HAM dan konflik tenurial kehutanan secara menyeluruh dan lintas
sektoral secara nasional atas masyarakat adat. Dalam hal ini, presiden perlu
secara tegas memulihkan kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
pada pengurusan lingkungan hidup dan
sumber daya hutan.
5.
Mendukung
segera implementasi putusan MK No. 35/PPU-XX/2012 an segera menerbitkan
UUPPMHA.
6.
Perlu
perbaikan sistem perizinan dan penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan
untuk mencegah korupsi , sebagai bagian Renaksi Nota Kesepakan Bersama 12 K/L
“Pecepatan Pengukuhan Kawasan Hutan” Komisi Pemberantasan Korupsi (yang sejak
19 Maret 2015 berubah menjadi Geralan Nasional untuk Penyelamatan SDA yang
meliputi 29 K/L).
7.
Memperbaiki
sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam didasari prinsip transparan,
partisipatif, dan akuntabel, mencakup juga prinsip persetujuan bebas tanpa
paksaan.
8.
Mempercepat
pengembangan sistem informasi sumber daya alam dan linkungan hidup, termasuk
peta unggul, untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
9.
Memastikan
adanya keterbukaan informasi atas dokumen kebijakan publik, antara lain, Berita
Acara Tata batas kawasan Hutan beserta peta-peta lampirannya, peta penunjukan
dan penetapan kawasan hutan, peta HGU, kontrak karya, RTRWP kabupaten/propinsi,
dalam format yang dapat digunakan untuk analisis keruangan, laporan studi AMDAL
serta kajian berbagai kementrian dan lembaga tentang tumpang tindih dengan
wilayah masyarakat adat.
10.
Khusus
wilayah Papua, pemerintah perlu mengkaji ulang konsep pembangunan di Papua
berdasar pada prinsip penghormatan dan perlindungan HAM. Semangat UU no. 21
tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua
perlu menjadi rujukan. Pemerintah, Gereja dan Masyarakat Adat perlu merumuskan
konsep pembangunan Khas Papua dan menyelesaikan konflik hak dan pengelolaan
SDA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar