"Aparat Harus Adil Melihat Pembakaran Ladang Masyarakat Adat Skala Kecil dengan Pembakaran Pemilik Ijin Kebun"
|
Menugal bersama di ladang milik Sekda Kutai Barat, Jacob Tulur. Tradisi gotong royong dalam menugal ini merupakan kearifal lokal masyatakat di wilayah ini. Dimana semua warga bergiliran membantu menugal di ladang warga lainnya. |
Amankaltim.blogspot.com Sekretaris Daerah Kutai Barat, Jacob Tulur sayangkan tindakan membabi buta aparat menangkap masyarakat adat dalam membakar ladang, hal ini di sampaikan Sekda disela – sela kegiatan menugal ladang miliknya di Kampung Pepas Eheng, Kecamatan Nyuatan, Kutai Barat, Kaltim (05/10/2019)
Menurut Jacob Tulur “Penangkapan peladang ini sendiri tidak perlu terjadi, terutama bagi masyarakat adat yang membakar ladang, karena harus dibedakan dimana membakar hutan dan lahan tidak sama dengan membakar ladang, karena sudah sangat jelas masyarakat adat sudah tahu adat dalam membakar ladang, tapi kalau lahan saya pikir justru kebun – kebun besar yang melakukanya. Jadi pihak aparat harus adil juga dalam melihat. Dimana ketika masyarakat adat yang membuat ladang tidak perlu juga terlalu belebihan apalagi sampai ditahan. Tapi juga perlu memperhatikan pembakaran lahan yang dilakukan oleh kebun – kebun besar (Perkebunan kelapa sawit). Justru pemilik ijin perkebunan yang melakukan pembakaran itu yang mesti ditangkap.”Tegas Jacob
"Aparat penegak hukum terutama di wilayah masyarakat adat, harus paham dengan hukum adat , karena hukum adat juga bagian dari hukum nasional yang diakui oleh negara, jadi harus bisa membedakan proses membakar ladang, dengan proses membakar Lahan, jika proses membakar ladang tentu melalui tahapan - tahapan ritual adat bakar ladang dan pasti semua pihak menjaga api dari beberapa sudut ladang, tetapi kalau bakar lahan atau hutan tentu tidak melalui tahapan ritual adat itu sudah pasti asal bakar dan tidak di jaga."
“Saat ini banyak penduduk yang tidak berani membakar ladang mereka karena ada intruksi larangan membakar nanti kena sanksi, tapi baru sekarang saja ada larangan membakar ini, padahal kalau diperhatikan yang membakar lahan dengan skala besar dan menyebabkan kabut asap bukan masyarakat yang berladang.” Tambahnya.
Jacob juga memaparkan bahwa sebagai Masyarakat Adat Dayak Benuaq tentu punya acara tersendiri dalam berladang dan sudah jelas dimana wilayahnya, sudah dipertimbangkan ketika dibakar tidak merembet kemana – mana dan disamping itu, persiapan sebelum membakar kita sudah membersihakan pinggir-pinggir ladang sehingga ketika saatnya membakar maka sudah siap untuk dibakar. Akan tetapi tetap mengikuti himbauan dari pemerintah untuk melapor ke pihak separti kepada pihak pemdam kebakaran.
“Sebelum membakar juga kita harus memperhatikan arah angin, jadi tidak sembarangan membakar, selain itu perlu diperhatikan jam saat membakar lahan dimana kita memilih waktu sore hari menjelang malam. Jadi masalah berladang ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat adat terutama Masyarakat Adat Tonyoii dan Benuaq yang ada disini. Harus diketahui kita sebagai orang Dayak memang hidup matinya dari berladang”. Jelas Jacob.
|
Foto Bersama disela - sela bergotong royong menugal di Ladang Sekda Kubar, Jacob Tulur |
Terkait regulasi dalam bentuk Perbub atau Perda yang melindungi peladang, menurut Jacob memang hingga sekarang dari sisi pemerintah Kabupaten Kutai Barat belum mengarah kesitu, tapi dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini memang harus ada regulasi yang melindungi para peladang dengan dibuat peraturan oleh pemerintah. Oleh karena itu ada harapan kepada masyarakat yang merasa kesulitan dalam membakar ladang untuk segera memberi usulan kepada DPR untuk membuat Perda Pelindungan dalam membakar ladang. Semua terbuka pihak baik pemerintah maupun DPR, semua tergantung dari masyarakatnya. Apabila masyarakatnya kreatif dengan tidak hanya berkoar – koar di media sosial tapi aktif dan kreatif dalam membuat surat dan disampaikan kepada pihak pemerintah, maka pihak pemerintah dan DPR juga akan terbuka. Apabila masyarakat meminta untuk difasilitasi oleh pemerintah , pihak pemerintah bersedia memfasilitasi dengan mengundang semua pihak, Begitu juga DPR. Jadi tidak hanya dalam Bahasa lisan. Jadi bisa langsung membuat surat secara tertulis dengan mewakili masyarakat agar cepat ditindaklanjuti.
Tanggapan senada akan larangan memakar ladang hingga penangkapan terhadap masyarakat adat ini juga disampaikan oleh Ratnaty, Kepala Adat Kampung Sembuan, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim.
Ratnaty menyayangkan dengan larangan membakar ladang ini, menurutnya sejak zaman nenek moyang dahulu masyarakat adat di wilayahnya sudah membakar ladang tapi tidak pernah merusak hutan, tapi mangapa kemudian sekarang masyarakat adat dituduh merusak hutan dengan kegiatan berladan. Hal ini sangat bertentangan. Sebagai masyarakat adat yang menjalankan adat jelas pihaknya tidak setuju kalau tuduh sebagai perusak, ini sama saja dengan penindasan terhadap terhadap masyarakat adat.
“Larangan membakar ladang ini sangat berdampak negatif bagi kami sebagai masyarakat adat, karena berladang ini merupakan salah satu mata pencarian utama kami. Kami hidup dari bertani dan berladang, jadi kami tidak mau merubah kebiasan kami dalam beladang dengan kebiasan lain.”Keluh Ratnaty
“Kalau dilihat dari hukum adat juga dimana kami ini memelihara tradisi leluhur termasuk berladang, ketika berladang ini dilakukan bermacam ritual. Karena menurut kepercayaan kami sebagai orang Dayak, dengan melakukan rangkaian ritual – ritual itu kemungkinan – kemungkinan yang jahat, bencana dan segala macamnya bisa dihindari karena melibatkan roh –roh para leluhur. Saat membuka ladang ada ritual, saat membakar ladang ada ritualnya juga sampai menanam dan memanen padi juga ada ritualnya. Jadi jelas membakar ladang tersendiri tidak bisa dipisahkan dari ritual adat kami dalam berladang yang bisa menghindarkan kami dari bencana. Kalau membakar ladang dilarang sama saja menghapuskan kearifan lokal kami sebagai masyarakat adat.”Terang Ratnaty.
Sekali lagi Ratnaty menegaskan hal terpenting untuk kekuatan masyarakat adat itu, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat memang harus ada perlindungan hukum tertulis untuk kekuatan masyrakat adat baik itu Undang – Undang Masyarakat Adat ataupun perda didaerah yang mengakui dan melindungi masyarakat adat.
Keresahan masyarakat adat akan larangan membakar ladang ini membuat Kresensia Rikam, Ketua Dharma Wanita Kutai Barat yang aktif dalam kegiatan perempuan dan mendukung pergerakan sekolah adat di Kubar memberikan pemaham tentang mekanisme berladang yang sering dilakukan komunitas adat di wilayahnya.
"Kami mendukung kalau larangan pemerintah dalam membakar hutan. tapi bukan larangan untuk membakar ladang. karena untuk kami, dalam membakar ladang sendiri melalui berbagai tahap, mulai dari membersihakan pinggiran lahan yang akan dibakar agar tidak merembembet ke hutan. untuk kami sendiri sebelum membakar ladang kami lapor dulu ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pihak pemadam kebakaran bahwa kami akan membakar ladang."
"Kemudian dalam membakar ladang juga kami tidak pernah sampai membuat gundul karena setalah kami bakar, akan ditanami dengan tanaman padi dan sayur - sayuran sehingga tanah itu menjadi tanah produktif. setelah itu lahan itu tidak langsung dibiarkan gundul karena kami tanami dengan tanaman keras seperti buah - buahan sehingga selalu produktif'."
"Dari sini bisa dipahami bahwa kami Orang Dayak cinta lingkungan kami dan semua sudah diatur dalam aturan adat, Sebelum aparat bertindak pihak lembaga adat akan langsung menberi sanksi atas pelanggarang yang ada. Saya sangat menyayangkan kalau terjadi penangkapan masyarakat adat karena membakar ladang. ini perlu ditinjau kembali karena yang dibakar bukan hutan tapi ladang. perlu diketahui bahwa kami Orang Dayak ini hidup dengan berladang karena tidak ada dari kami yang bikin sawah, kalau ada paling sedikit jumlahnya, jadi sebaiknya ini ditinjau ulang."Tegas Kresensia.
Di sisi lain penolakan terhadap larangan membakar ladang ini juga keluar dari Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Lusia.
“Kami masyarakat adat jelas menolak larangan untuk pembakaran ladang .Kita sebagai masyarakat adat sendiri dilindungi dalam undang – undang 1945 pasal 18 B, dimana adat kita diakui, selain itu Undang – undang 32 tahun 2009 tentang undang – undang pelindungan dari Lingkungan Hidup (LH) yang memperbolehkan membakar dibawah dua hektar untuk menanam bibit dan varietas lokal. Ini sudah merupakan dasar hukum untuk kita masyaraka adat, bahwa kita dilindungi.” Kata Lusia.
Lusia juga menyampaikan yang akan segera dilakukan sekarang ini adalah mendorong inisiatif regulasi untuk perlindungan peladang, mungkin di tahun ini belum terealisasi, tapi untuk tahun selanjutnya akan meminta DPRDuntuk membuat perda melalui audiensi dengan mengundang OPD yang ada serta aparat agar keluhan terhadap larangan membakar ladang ini didengar melalui perwakian yang ada di DPR.
Hingga sekarang kasus – kasus penangkapan terhadap masyarakat adat masih bergulir. Di Kabuapten Paser, Kaltim hingga saat ini proses hukum terhadap masyarakat adat yang membakar ladang masih bergulir dan belum menemui titik terang.
Memang perlu adanya regulasi yang melindungi masyarakat adat yang membakar ladangnya karena membakar ladang merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat adat yang menjadi indentitas komunitas – komunitas adat.